Abstract
Managing legal and moral responsibility in the marketplace can be a significant part of a corporation’s activities. A major stake for corporations is obviously profit, and brand name and reputation are linked to profits. Thus, it is a company’s long-term interest to create and sustain customer trust by offering safe products, truthfully informing consumers about product content and use, and treating stakeholders ethically.
Corporate Social Responsibility refers to a business’s attention to and promotion of the welfare and goodwill of stakeholders. There is evidence that socially responsible corporations have a competitive advantage in the following areas: reputation, successful social investment portfolios, and ability to attract quality employees.
Filantropi & CSR
Irwan Hidayat (Dirut perusahaan jamu Sidomuncul) saat melepas rombongan mudik gratis tanggal 29 Oktober 2005 yang lalu menyatakan, bahwa tradisi mudik gratis bersama para penjual jamu yang dikelola perusahaanya sudah menjadi “trade mark” nya Sidomuncul dan menjadi Corporate Social Responsibility (CSR). Kendati, 16 tahun silam ketika untuk pertama kalinya Irwan Hidayat menyelenggarakan program mudik gratis belum terlintas sedikitpun gagasan mengenai konsep CSR.
Untuk memahami konsep CSR, maka kita akan menggunakan pendekatan konsep stakeholders ditunjukkan diagram berikut ini.
Sumber: Caux Round Table’s Principles for Business. Business Ethics magazine, 52S, 10th St. #110, Minneapolis, MN 55403.
Secara harfiah, CSR atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan adalah bentuk perhatian kalangan pebisnis (perusahaan) untuk menciptakan kesejahteraan dan kebaikan bagi para pihak luar terkait (external stakeholders). Siapa saja para pihak terkait tersebut ? Terdapat 6 (enam) kelompok besar yang membentuk external stakeholders suatu korporat, yakni para pelanggan (customers/consumers), pemasok (suppliers, distributors), lingkungan (environment), masyarakat sekitar (community, society), pesaing (competitors), dan pemerintah (government).
Harus juga diingat juga bahwa pihak internal perusahaan khususnya manajemen sangat berkepentingan pada pencapaian target keuntungan (profitabilitas), memperkuat citra merk/brand name(s), reputasi, kepercayaan (trust), serta dukungan dari para pemegang saham.
Sejalan dengan konsep CSR, maka manajemen perlu menciptakan perimbangan antara kepentingan inte rnal perusahaan dengan external stakeholders. Ambil contoh, para pelanggan mengharapkan produk/jasa yang aman (saat digunakan maupun bila salah penggunaan), kejujuran informasi (terkait iklan/promosi dagang), sikap adil (menyangkut pelayanan), dan sebagainya. Bagi para pemasok/distributor, maka perusahaan diharapkan bersikap adil (transaksi dan kontrak), saling menghargai (mutual respect), jujur dalam berbagi informasi, pembayaran tepat waktu (timely payment). Dipandang dari aspek lingkungan hidup, maka perusahaan wajib menjaga kelestarian lingkungan, tidak sembarangan membuang limbah, serta meningkatkan baku mutu lingkungan.
Yang unik dalam konsep CSR, maka pesaing (competitors) mesti dilihat sebagai “partner” untuk membuka pasaran baru, ketaatan pada aturan dan hak semua pihak, serta berlaku etis dalam praktek bisnis.
Pemerintah merupakan komponen penting lain dalam external stakeholders di mana perusahaan mesti taat pada aturan hukum positif, kerjasama yang mengedepankan keadilan, serta mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat/pekerja.
Kemudian, hubungan antara perusahaan dengan masyarakat umum ditekankan pada adanya penghargaan atas aturan, hak, nilai-nilai serta b udaya masyarakat. Di samping itu, perusahaan perlu mendorong pengembangan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan secara luas juga diharapkan perusahaan bisa menjadi “anggota masyarakat” yang baik.
Reputation Quotient (RQ)
Menyimak kembali ke maraknya fenomena filantropis oleh pelbagai perusahaan menjelang dan di seputar hari-hari besar seperti Lebaran, Natal, Tahun Baru, maupun hari ulangtahun perusahaan secara logis memang memiliki makna investasi jangka panjang dikaitkan upaya menciptakan keunggulan kompetitif. Ini bisa dilihat dari 3 aspek yakni reputasi perusahaan, investasi sosial, dan kemampuan menarik sumber daya manusia yang berkualitas.
Beberapa lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor (S&P) 500, Harris Interative Inc. and Reputation Institute secara rutin melakukan survey terhadap sejumlah perusahaan kelas dunia. Berdasar survey S&P yang dilakukan antara Maret – April 2001 menempatkan Procter & Gamble (P&G) di ranking pertama sebagai “service to international stakeholders” atas perannya menyantuni para korban bencana alam di Jepang, China, Romania, dan peran sertanya dalam rehabilitasi pasca gempa bumi di Turki. Lalu, bagaimana dengan peringkat perusahaan-perusahaan nasional kita ?
Terdapat suatu instrumen standar untuk “menilai” peringkat reputasi sebuah perusahaan, yakni Reputation Quotient (RQ). Survey RQ berisi 6 (enam) pertanyaan standar untuk menampung pendapat masyarakat (responden) menyangkut reputasi sebuah perusahaan yang disurvey berdasarkan atribut –atribut penting seperti: simpati masyarakat (emotional appeal); tanggungjawab sosial; relasi dengan masyarakat sekitar, karyawan, dan lingkungan hidup; kualitas, inovasi, nilai, serta kehandalan produk/jasa; kinerja manajemen; kualitas kepemimpinan, kemampulabaan, masa depan, serta risiko bisnisnya.
Survey RQ sangat praktis dan sederhana serta bisa digunakan sebagai acuan awal bagi pengambilan keputusan manajemen dalam pembenahan internal perusahaan.
Dari survey yang dilakukan lembaga pemeringkat Harris Interactive Inc. and Reputation Institute NY terhadap 10.830 responden pada tahun 2002/2003 menempatkan Johnson & Johnson (J&J) pada peringkat pertama. Hasil ini memang tidak mengagetkan. Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika 20 tahun silam J&J melakukan penarikan (recall) besar-besaran terhadap produk laris Extra-Strength Tylenol tablets y ang tercemar (dicemari ?) racun mematikan cyanida hingga menguras kocek perusahaan sekitar US$ 125 Juta! Manajemen J&J menunjukkan suatu keteladanan kepemimpinan etis yang patut diacungi jempol. Kasus yang sama peliknya saat ini tengah mendera perusahaan raksasa farmasi Merck & Co menyangkut produk obat laris Vioxx dengan potensi biaya penanganan hingga US$ 50 Miliar ! Fenomena serupa bisa menimpa siapapun baik perusahaan berkelas dunia seperti J&J, Merck, dan sebagainya termasuk perusahaan berskala nasional seperti baru-baru ini dialami Perfetti Van Melle Indonesia yang terpaksa melakukan penarikan atas produk permennya Chox yang dikritik konsumennya atas potensi tercemar oleh “sisipan” uang di dalam kemasan produk permen tersebut.
KESIMPULAN
Esensi CSR tidak hanya dilihat sebatas sebagai kegiatan filantropis semata tapi utamanya untuk membangun reputasi serta citra positif perusahaan. Disadari sepenuhnya, reputasi bukanlah semata-mata konsep abstrak tapi merupakan aset perusahaan yang tak ternilai sebagai daya tarik utama bagi para pelanggan, karyawan, dan tentu saja pemodal (investor). Jelas, CSR memiliki makna strategis sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan yang menekankan pada aspek kelanggengan (sustainability) dan kehandalan (reliability) dalam jangka panjang.
Jakarta, 28 November 2005
Daftar pustaka:
1. Weiss JW, Business Ethics – a Stakeholder and Issues Manageme nt Approach, [OH Thomson South Western, 3rd Edition, 2003].
2. Fritzsche DJ, Business Ethics, A Global & Managerial Perspective, [NY, McGraw-Hill, 2005]
3. Laczniak GR & Murphy PE, Ethical Marketing Decision – The Higher Road, [MA, Allyn & Bacon, 1993]
4. Barrett Amy, Menggugat Obat, BusinessWeek, 27 September 2005.
5. Naik, Jumlah Pemudik Gratis, KOMPAS, 30 Oktober 2005.
6. Penarikan Permen Chox, KOMPAS, 31 Oktober 2005.
7. Sidomuncul Berangkatkan 15.000 Pemudik Secara Gratis, Suara Pembaruan, 29 Oktober 2005.
Best wishes,
Hubert
*) Warga Flamboyant Citra B3/21, professional bisnis dan Faculty Member pada Departemen MSDM Prasetiya Mulya Business School – Jakarta.